Jumat, 10 April 2015

Sya : Antara Cinta dan Cita


“Sya, bisa kita ketemu sore ini? Abang tunggu di tempat biasa ya, Sya.” Pemuda itu langsung mengakhirikan panggilannya.
Sya belum sempat menjawab.
“Ada apa lagi ini?” Sya menarik nafasnya dalam-dalam.
Dia melirik arlogi mungil yang melingkari pergelangan tangannya. Mulutnya merapal sesuatu. Entah apa yang ingin disampaikan pemuda kesayangan ayahnya itu. Dia sangat berharap kabar baik yang ia dengar saat senja ini.
“Assalamu’alaikum, Sya. Sudah lama, ya?”
Suara itu terdengar dari arah belakang tempat Sya duduk.
“Wa’alaikumsalam. Lumayan lama sih, Bang.” Jawabnya sembari melirik arloji miliknya.
“Abang baru pulang dari kerja, jadi maaf banget ya, Sya.” Pemuda itu menyatukan kedua telapak tangannya di dadanya.
“Langsung aja deh, Bang. Ada perlu apa sampai harus ketemu sore ini?”
“Hemm, nggak pesan makan dulu, nih? Nanti sambil makan Abang cerita, oke?” katanya sambil tangan kanannya memperagakan kata oke.
“Oke.”
Sya dan pemuda itu memesan menu yang sama. Merekapun menikmati suasana senja di sebuah café yang tak jauh dari kampus Sya. Pemuda yang sudah hampir berumur kepala tiga itu begitu hanyut memandangi wajah Sya. Tidak biasanya dia memperhatikan Sya selekat ini. Tampak Sya fokus menyuap nasi goreng ke mulutnya.  
“Sya, bagaimana menurutmu tentang nikah muda?”
“Nikah muda? Tergantung pribadi masing-masing, sih, Bang. Tapi menurut Sya, seseorang yang memutuskan untuk menikah, berarti dia sudah siap menerima dan memberi, dan mencintai tanpa syarat.” Jawab Sya.
Pemuda itu masih menatap lekat mata Sya. Dia adalah pemuda pertama kali yang Sya temui saat menginjakkan kaki di tanah perantuan ini. Muhammad Akbar namanya, namun Sya lebih suka memanggilnya, Ahmad.
“Sya sudah siap untuk menikah?”
Sya menoleh ke arah pemuda itu. Ia tersedak makanan yang baru saja masuk ke kerongkongannya. Dahinya mengerut. Mulutnya berhenti mengunyah. Dia kembali meletakkan sendok yang digenggamnya di atas piring.
“Siap atau tidaknya hanya Allah yang tahu, Bang. Jika Allah sudah menghadirkan jodoh itu di depan mata dan di hati, itu berarti Sya sudah siap.”
“Bukannya kemarin ada yang melamar? Lalu kenapa ditolak?”
“Perkara itu bukan Sya yang menolak, tapi Ayah.” Sya menunduk menatap sepiring nasi goreng di atas meja, dan dia sudah tidak selera lagi menikmatinya.
“Sudahlah, Bang. Nggak usah dibahas lagi.” Suasana hati Sya berubah.
“Seharusnya dia memperjuangkanmu jika memang dia mencintaimu, Sya.”
“Seharusnya perjuangan itu tidak pernah mengenal kata lelah.” Sambung Sya.
Sya tiba-tiba murung. Senyum di wajahnya redup. Bibirnya datar. Ia kembali hanyut dalam kenangan cinta masa lalu. Cinta yang ia yakini akan menjadi cinta sejati hidupnya. Cinta yang diyakini tidak akan pergi setelah kepulangannya. Ternyata Tuhan berkehendak lain.
***
“Sya, Abang akan pulang minggu depan. Kapan libur kuliah?” Pesan pendek itu dari kekasihnya.
“Pulang lalu pergi lagi?” Balas Sya
“InsyaAllah, tidak. Abang akan menetap di Jambi. Itu kalau Sya tidak keberatan.”
“Alhamdulillah. InsyaAllah, Sya pulang awal Agustus.”
Sya menyebutnya cinta. Cinta yang dia yakini akan kembali setiap ia melangkah pergi ke ranah ilmu. Dia yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Bandung, akan pulang dan katanya tidak akan pergi lagi. Bagi Sya, kepulangan kekasihnya itu adalah kebahagiaan yang tidak bisa ia lukiskan dengan sekedar senyum.
Tiga tahun saling mengenal meski jarak membentang diantara mereka, akhirnya pertemuan itu pun digelar di bulan agustus. Cinta. Meski ia tak berwujud, hati selalu dapat menerkanya.
“Sya, I have something for you. Abang akan kerumah usai sholat tarawih.”
“Sudah izin sama Ayah mau ke rumah?”
“Sudah, Sya. Kan calon menantu Ayah.” Kekasihnya begitu pede mengatakan hal itu.
Usai sholat tarawih, Sya menunggu di teras rumah. Terdengar bunyi klakson motor yang berhenti di garasi rumah Sya.
“Assalamu’alaikum, Sya.” Sapa pemuda yang memakai baju koko putih dan kopiah hitam.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Sya sembari mempersembahkan senyumnya.
Pemuda itu pun mengulurkan kantong plastik yang lumayan besar kepada Sya.
“Oleh-oleh dari Bandung?” Sya menerimanya dengan hati yang riang.
Kekasihnya itu hanya mengangguk senyum. Dia hanya mengantarkan oleh-oleh itu kepada Sya, setelah itu dia pamit pulang.
Sya masuk ke dalam kamar yang kini menjadi miliknya sejak lulus dari Madrasah Aliyah. Dia benar-benar sudah merasa gadis, karena sudah memiliki kamar sendiri. Sebelumnya ia tidur bersama nenek sampai akhirnya ia merantau. Ibu yang mengizinkannya untuk tidur di kamar ini. Namun, setelah melanjutkan kuliah ke luar kota, kamar ini tidak ada yang menidurinya.
“Suka?” pesan pendek itu menghiasi android Sya.
“Mukenanya suka, tapi kenapa hijau?”
“Cuma ada hijau dan ungu, Abang pikir, Sya suka warna hijau.”
Sya hanya tersenyum menerima pesan dari kekasihnya itu.
“Sya, kapan kuliahnya selesai?”
“Mohon doanya, Bang. InsyaAllah dua tahun lagi.” Balas Sya.
“Abang akan menunggu Sya….”
***  
 Sejak pulang dari tanah perantauan. Sya kerap menyaksikan wajah Ayahnya yang murung. Dia tidak begitu dekat dengan sosok yang sangat ia segani itu. Dia hanya akan berbicara pada Ayah jika memang benar-benar penting. Mereka tidak begitu akrab dalam sapaan, namun hati keduanya terikat kuat. Hingga pada suatu malam, mereka membicarakan hal yang sangat penting. Tentang masa depan Sya.
“Ayah memanggil Sya?”
“Sya, masih ingin kuliah, kan? Masih bercita-cita jadi dokter, kan?”
Sya mengangguk pelan.
“Ayah yakin bahwa Sya bisa memegang kepercayaan yang Ayah berikan kepada Sya.”
Seketika Sya menatap lekat mata Ayah.
“Sya boleh berhubungan dekat dengan siapa pun. Sya adalah anak perempuan satu-satunya. Jika Sya pergi sebelum tugas ayah sebagai orangtua selesai, pasti Ayah akan sangat sedih.”
“Sya tidak akan pergi sebelum mewujudkan mimpi kita, Yah.” Aku memandang lekat mata ayah yang mengarah pada jendela.
“Fadli sudah mengutarakan keinginanannya untuk melamar, Sya.”
Sya terhentak.
“Tapi Ayah menolaknya. Ayah sudah memberikan dia pilihan untuk menunggumu hingga selesai kuliah. Dan dia tidak menyanggupinya. ”
Sya hanya terdiam menunduk. Sesuatu yang ia yakini akan menjadi cinta sejatinya ternyata sudah berakhir. Apa yang bisa ia lakukan ketika cinta harus berakhir karena sebuah impian? Bukankah mewujudkan impian Ayah adalah yang terpenting bagi Sya? Tidak seharusnya ia menyimpan sebongkah rindu dan kasih yang telah bertahun-tahun bersemayam di dalam kalbu. Tidak seharusnya ia meyakini bahwa Fadli yang kelak menjadi cinta sejatinya. Memang tidak seharusnya keyakinan itu bersemayam dalam benaknya. Antara cita dan cinta. Kini, hatinya begitu terluka. Bagimana pun cintanya pada Fadli, Sya akan tetap berjuang meraih impiannya tanpa kekasihnya itu. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Sya akan tetap menyimpan rasa itu di hati, hingga akhirnya Tuhan menautkan hati mereka kembali. 
"Maafkan, Abang. Karena tidak bisa menunggu, Sya."
"Tidak ada yang mampu menggantikan posisi Sya di hati ini, meski takdir tidak memihak pada cinta kita. Biarlah cinta ini tetap tersimpan di dalam hati ini sampai nafas berhenti."  
Sudah sepekan Sya membiarkan pesan itu bertubi-tubi menghiasi ponselnya. Hatinya masih terluka. Ingatannya tentang Fadli masih tersisa, senyumnya, ketawanya, candanya, semua masih tersimpan dengan rapi dalam benak Sya. Batin Sya semakin tersiksa. Semakin ia mencoba melupakan semakin kuat ingatannya tentang Fadli. Semakin ia menyesali, mengapa ia menyimpan rindu dan kasih sedalam ini?  
"Sya, kamu kuat, harus kuat. Kebahagiaan Ayah lebih berarti dari segalanya."
Sya mencoba mendamaikan hatinya. Ia mengepalkan kedua tangannya, semakin kuat.  Matanya terpejam. Ia menggigit bibirnya. Menahan luka di hati yang begitu perih. Tetes demi tetes air matanya membasahi kerudung yang melingkari kepalanya. Ia membenamkan wajahnya pada kedua tangannya.
Cinta ditakdirkan untuk berakhir bahagia, dan luka hadir melengkapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar