“Sya, bisa kita ketemu sore ini? Abang tunggu di tempat biasa ya, Sya.” Pemuda itu langsung mengakhirikan panggilannya.
Sya belum sempat menjawab.
“Ada apa lagi ini?” Sya menarik nafasnya dalam-dalam.
Dia
melirik arlogi mungil yang melingkari pergelangan tangannya. Mulutnya
merapal sesuatu. Entah apa yang ingin disampaikan pemuda kesayangan
ayahnya itu. Dia sangat berharap kabar baik yang ia dengar saat senja
ini.
“Assalamu’alaikum, Sya. Sudah lama, ya?”
Suara itu terdengar dari arah belakang tempat Sya duduk.
“Wa’alaikumsalam. Lumayan lama sih, Bang.” Jawabnya sembari melirik arloji miliknya.
“Abang baru pulang dari kerja, jadi maaf banget ya, Sya.” Pemuda itu menyatukan kedua telapak tangannya di dadanya.
“Langsung aja deh, Bang. Ada perlu apa sampai harus ketemu sore ini?”
“Hemm, nggak pesan makan dulu, nih? Nanti sambil makan Abang cerita, oke?” katanya sambil tangan kanannya memperagakan kata oke.
“Oke.”
Sya
dan pemuda itu memesan menu yang sama. Merekapun menikmati suasana
senja di sebuah café yang tak jauh dari kampus Sya. Pemuda yang sudah
hampir berumur kepala tiga itu begitu hanyut memandangi wajah Sya. Tidak
biasanya dia memperhatikan Sya selekat ini. Tampak Sya fokus menyuap
nasi goreng ke mulutnya.
“Sya, bagaimana menurutmu tentang nikah muda?”
“Nikah
muda? Tergantung pribadi masing-masing, sih, Bang. Tapi menurut Sya,
seseorang yang memutuskan untuk menikah, berarti dia sudah siap menerima
dan memberi, dan mencintai tanpa syarat.” Jawab Sya.
Pemuda
itu masih menatap lekat mata Sya. Dia adalah pemuda pertama kali yang
Sya temui saat menginjakkan kaki di tanah perantuan ini. Muhammad Akbar
namanya, namun Sya lebih suka memanggilnya, Ahmad.
“Sya sudah siap untuk menikah?”
Sya
menoleh ke arah pemuda itu. Ia tersedak makanan yang baru saja masuk ke
kerongkongannya. Dahinya mengerut. Mulutnya berhenti mengunyah. Dia
kembali meletakkan sendok yang digenggamnya di atas piring.
“Siap
atau tidaknya hanya Allah yang tahu, Bang. Jika Allah sudah
menghadirkan jodoh itu di depan mata dan di hati, itu berarti Sya sudah
siap.”
“Bukannya kemarin ada yang melamar? Lalu kenapa ditolak?”
“Perkara
itu bukan Sya yang menolak, tapi Ayah.” Sya menunduk menatap sepiring
nasi goreng di atas meja, dan dia sudah tidak selera lagi menikmatinya.
“Sudahlah, Bang. Nggak usah dibahas lagi.” Suasana hati Sya berubah.
“Seharusnya dia memperjuangkanmu jika memang dia mencintaimu, Sya.”
“Seharusnya perjuangan itu tidak pernah mengenal kata lelah.” Sambung Sya.
Sya
tiba-tiba murung. Senyum di wajahnya redup. Bibirnya datar. Ia kembali
hanyut dalam kenangan cinta masa lalu. Cinta yang ia yakini akan menjadi
cinta sejati hidupnya. Cinta yang diyakini tidak akan pergi setelah
kepulangannya. Ternyata Tuhan berkehendak lain.
***
“Sya, Abang akan pulang minggu depan. Kapan libur kuliah?” Pesan pendek itu dari kekasihnya.
“Pulang lalu pergi lagi?” Balas Sya
“InsyaAllah, tidak. Abang akan menetap di Jambi. Itu kalau Sya tidak keberatan.”
“Alhamdulillah. InsyaAllah, Sya pulang awal Agustus.”
Sya
menyebutnya cinta. Cinta yang dia yakini akan kembali setiap ia
melangkah pergi ke ranah ilmu. Dia yang baru saja menyelesaikan
kuliahnya di Bandung, akan pulang dan katanya tidak akan pergi lagi.
Bagi Sya, kepulangan kekasihnya itu adalah kebahagiaan yang tidak bisa
ia lukiskan dengan sekedar senyum.
Tiga
tahun saling mengenal meski jarak membentang diantara mereka, akhirnya
pertemuan itu pun digelar di bulan agustus. Cinta. Meski ia tak
berwujud, hati selalu dapat menerkanya.
“Sya, I have something for you. Abang akan kerumah usai sholat tarawih.”
“Sudah izin sama Ayah mau ke rumah?”
“Sudah, Sya. Kan calon menantu Ayah.” Kekasihnya begitu pede mengatakan hal itu.
Usai sholat tarawih, Sya menunggu di teras rumah. Terdengar bunyi klakson motor yang berhenti di garasi rumah Sya.
“Assalamu’alaikum, Sya.” Sapa pemuda yang memakai baju koko putih dan kopiah hitam.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Sya sembari mempersembahkan senyumnya.
Pemuda itu pun mengulurkan kantong plastik yang lumayan besar kepada Sya.
“Oleh-oleh dari Bandung?” Sya menerimanya dengan hati yang riang.
Kekasihnya itu hanya mengangguk senyum. Dia hanya mengantarkan oleh-oleh itu kepada Sya, setelah itu dia pamit pulang.
Sya
masuk ke dalam kamar yang kini menjadi miliknya sejak lulus dari
Madrasah Aliyah. Dia benar-benar sudah merasa gadis, karena sudah
memiliki kamar sendiri. Sebelumnya ia tidur bersama nenek sampai
akhirnya ia merantau. Ibu yang mengizinkannya untuk tidur di kamar ini.
Namun, setelah melanjutkan kuliah ke luar kota, kamar ini tidak ada yang
menidurinya.
“Suka?” pesan pendek itu menghiasi android Sya.
“Mukenanya suka, tapi kenapa hijau?”
“Cuma ada hijau dan ungu, Abang pikir, Sya suka warna hijau.”
Sya hanya tersenyum menerima pesan dari kekasihnya itu.
“Sya, kapan kuliahnya selesai?”
“Mohon doanya, Bang. InsyaAllah dua tahun lagi.” Balas Sya.
“Abang akan menunggu Sya….”
***
Sejak
pulang dari tanah perantauan. Sya kerap menyaksikan wajah Ayahnya yang
murung. Dia tidak begitu dekat dengan sosok yang sangat ia segani itu.
Dia hanya akan berbicara pada Ayah jika memang benar-benar penting.
Mereka tidak begitu akrab dalam sapaan, namun hati keduanya terikat
kuat. Hingga pada suatu malam, mereka membicarakan hal yang sangat
penting. Tentang masa depan Sya.
“Ayah memanggil Sya?”
“Sya, masih ingin kuliah, kan? Masih bercita-cita jadi dokter, kan?”
Sya mengangguk pelan.
“Ayah yakin bahwa Sya bisa memegang kepercayaan yang Ayah berikan kepada Sya.”
Seketika Sya menatap lekat mata Ayah.
“Sya
boleh berhubungan dekat dengan siapa pun. Sya adalah anak perempuan
satu-satunya. Jika Sya pergi sebelum tugas ayah sebagai orangtua
selesai, pasti Ayah akan sangat sedih.”
“Sya tidak akan pergi sebelum mewujudkan mimpi kita, Yah.” Aku memandang lekat mata ayah yang mengarah pada jendela.
“Fadli sudah mengutarakan keinginanannya untuk melamar, Sya.”
Sya terhentak.
“Tapi Ayah menolaknya. Ayah sudah memberikan dia pilihan untuk menunggumu hingga selesai kuliah. Dan dia tidak menyanggupinya. ”
Sya
hanya terdiam menunduk. Sesuatu yang ia yakini akan menjadi cinta
sejatinya ternyata sudah berakhir. Apa yang bisa ia lakukan ketika cinta
harus berakhir karena sebuah impian? Bukankah mewujudkan impian Ayah
adalah yang terpenting bagi Sya? Tidak seharusnya ia menyimpan sebongkah
rindu dan kasih yang telah bertahun-tahun bersemayam di dalam kalbu.
Tidak seharusnya ia meyakini bahwa Fadli yang kelak menjadi cinta
sejatinya. Memang tidak seharusnya keyakinan itu bersemayam dalam
benaknya. Antara cita dan cinta. Kini, hatinya begitu terluka. Bagimana
pun cintanya pada Fadli, Sya akan tetap berjuang meraih impiannya tanpa
kekasihnya itu. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Sya akan tetap
menyimpan rasa itu di hati, hingga akhirnya Tuhan menautkan hati mereka
kembali.
"Maafkan, Abang. Karena tidak bisa menunggu, Sya."
"Tidak
ada yang mampu menggantikan posisi Sya di hati ini, meski takdir tidak
memihak pada cinta kita. Biarlah cinta ini tetap tersimpan di dalam hati
ini sampai nafas berhenti."
Sudah
sepekan Sya membiarkan pesan itu bertubi-tubi menghiasi ponselnya.
Hatinya masih terluka. Ingatannya tentang Fadli masih tersisa,
senyumnya, ketawanya, candanya, semua masih tersimpan dengan rapi dalam
benak Sya. Batin Sya semakin tersiksa. Semakin ia mencoba melupakan
semakin kuat ingatannya tentang Fadli. Semakin ia menyesali, mengapa ia
menyimpan rindu dan kasih sedalam ini?
"Sya, kamu kuat, harus kuat. Kebahagiaan Ayah lebih berarti dari segalanya."
Sya mencoba mendamaikan hatinya. Ia mengepalkan kedua tangannya, semakin kuat. Matanya
terpejam. Ia menggigit bibirnya. Menahan luka di hati yang begitu
perih. Tetes demi tetes air matanya membasahi kerudung yang melingkari
kepalanya. Ia membenamkan wajahnya pada kedua tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar