Jumat, 10 April 2015

Peran Budaya bagi Pengembangan Demokrasi


Negara Indonesia memiliki berbagai suku, bahasa, tradisi dan kearifan lokal serta kebudayaan  yang menjadi tolak ukur  dalam sistem pemerintahan kita, yaitu demokrasi. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, budaya asing mulai ‘merasuki’ Indonesia. Masyarakat akhirnya menyerap berbagai budaya asing tersebut tanpa memilah apakah sudah sesuai dengan kepribadian bangsa atau belum.

Akibatnya, masyarakat akan mulai mengabaikan budaya aslinya sendiri, dan budaya asli Indonesia pun mulai luntur, bahkan sebagian mulai hilang, misalnya Reog Ponorogo yang mulai hilang di tengah zaman. Hal ini akan berdampak sangat besar kepada generasi penerus bangsa. Mereka akan merasa asing terhadap budayanya sendiri dan merasa lebih cocok dengan budaya luar yang bahkan belum tentu lebih baik. Dengan begitu, moral generasi bangsa akan rusak, kepribadian bangsa akan memudar, rasa nasionalisme akan berkurang.

Kalau budaya sendiri saja dilupakan, apalagi rasa nasionalisme? Dan kalau rasa nasionalisme saja sudah pudar, bagaimana akan berdemokrasi dengan baik untuk kebaikan dan kepentingan bersama?

Di samping itu, kita lihat sekarang, budaya demokrasi yang menyuarakan suara hati rakyat, justru menjadi daging empuk bagi para politisi yang mengejar kedudukan. Masyarakat miskin dan yang belum memiliki pendidikan politik dengan baik diiming-imingi kesejahteraan dengan dengan memilih politisi tersebut. Sedangkan setelah mereka menjabat mereka seperti kacang lupa kulit!

Mereka lupa dengan janji-janji mereka. Mereka sibuk memperkaya diri dari uang rakyat! Seperti tikus-tikus pemakan sampah di got, tanpa berfikir bagaimana nasib mereka yang hartanya dizhalimi. Mereka lupa akan janji dan harapan rakyat jelata dan para pencari keadilan. Dimana otak ketika hawa nafsu sudah dikedepankan?
Demokrasi sendiri juga menjadi ajang saling unjuk gigi dengan saling menjatuhkan para sesama ‘pemburu kekuasaan’ dan untuk saling menjelekkan antara politisi dan simpatisan. Ini hal yang sangat memprihatikan.
Undang-Undang Dasar dan undang-undang telah memberi acuan tentang bagaimana harusnya demokrasi itu sendiri berjalan. Demokrasi di Indonesia juga memang telah mengalami berbagai perubahan sistem, tetapi budaya politiknya tetap sama!
Demokrasi di Indonesia saat ini seolah hanya berorientasi kepada kekuasaan. Berbagai budaya politik yang sangat melekat di Indonesia misalnya “asal bapak senang”. Seperti apa yang pemerintah mau tetapkan, kita harus turut, tidak peduli seberapa dampaknya terhadap masyarakat.

Budaya demokrasi juga harusnya menjunjung tinggi sikap kejujuran dan kesamaan hukum. Bukan ‘tumpul ke atas runcing ke bawah’. Dahulu ketika masih kecil, saya sering bertanya, mengapa ketika ada berita di televisi, bahwa ada seorang tua miskin, yang keriput, sudah pikun, dalam keadaan terpaksa mencuri pisang tetangga, diadili penjara beberapa bulan, sedangkan di televise, banyak sekali berita tentang petinggi-petinggi berdasi dan berjas korupsi, bisa mendapat fasilitas di masa hukumannya. Bahkan bisa berkeliaran tanpa was was.
Saya berpikir bahwa demokrasi sejatinya adalah surga bagi para pencari keadilan, yang dengan bebas dapat beraspirasi dan menyalurkan pendapat. Kurang indah apalagi? Bahkan pemerintah lah yang memegang peranan kesejahteraan. Pemerintah bahkan juga memberi kebebasan bagi masyarakat untuk ikut andil. Sistem pemerintahan nan indah, bukan?
Berbagai penyimpangan demokrasi ini adalah bukti kuat akibat dari pudarnya nasionalisme, yang mana diawali dari pengabaian terhadap budayanya sendiri.

Semoga tulisan saya tersebut bisa kembali menyadarkan kita untuk lebih mengenal, mengembangkan dan mencintai budaya kita, karena mencintai budaya kita adalah langkah awal untuk menumbuhkan sikap nasionalisme. Dengan nasionalisme lah kita bisa mulai berdemorasi dengan baik, untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Mulailah dari diri sendiri, Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membela Negara Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar