Rabu, 24 Juni 2015

Review Film Guru Bangsa Tjokroaminoto: Teropong Garin Nugroho pada Sang Guru Bangsa


Review Film Guru Bangsa Tjokroaminoto: Teropong Garin Nugroho pada Sang Guru Bangsa
Foto: Pic[k]lock Films dan MSH Films
Womenshealth.co.id - Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro) lahir dari kaum bangsawan Jawa. Sehari-hari, ia berpakaian beskap dan kain sarung  batik, dan hidup nyaman tidak seperti kebanyakan rakyat Indonesia. Tjokro kecil pernah mendapati seorang pekerja Indonesia yang disiksa atasannya yang orang Belanda karena melakukan keteledoran. Darah yang terpercik di antara hamparan kapas menjadi potret yang terekam kuat di benaknya dan membekas dalam hatinya.

 Tjokro (Reza Rahardian) lalu menikah dengan Suharsikin (Putri Ayudya), dan bekerja pada orang Belanda. Perlakuan tak adil kembali mengusik hatinya. Sikap perlawanan di kala itu tak hanya menimbulkan masalah dengan atasan Belandanya, tapi juga mertuanya (Sujiwo Tedjo & Maia Estianty). Tjokro pun hijrah – kata yang menjadi kunci perjuangannya dan napas film ini. Dalam perjalanannya inilah, Tjokro bertemu beberapa tokoh yang kemudian ikut membentuk karakter dirinya.

Ia kemudian berjuang bersama Hadji Samanhudi mengubah Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI). Tjokro yang intelektual, pandai bersiasat, dan oratur ulung disegani kawan maupun lawan. SI berkembang menjadi organisasi dengan anggota dua juta orang yang berasal dari berbagai kelas sosial – “sama rata, sama rasa” menjadi paham yang disebarkannya. Diceritakan, ini membuat rakyat kecil penjual bangku pun bisa mengenakan beskap dan kain sarung batik dengan motif yang awalnya hanya boleh dikenakan priyayi Jawa. Di sisi lain, ada juga kaum priyayi yang protes pada Suharsikin akan paham Tjokro yang membuat mereka ‘turun kelas’.

Rumah Tjokro –dikenal sebagai Rumah Peneleh– pun menjadi rumah kost banyak pemuda berpendidikan, dari Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta Ginting), Musso (Ade Firman Hakim), hingga Kusno/ Soekarno (Deva Mahendra). Rumah Peneleh menjadi rumah beragam ideologi dan nilai. Tjokro menerima semuanya, asal tanpa kekerasan. Saat itu, paham Ahimsa (tanpa kekerasan) yang dianut Gandhi di India mendunia. Di sisi lain, Revolusi Bolshevik tengah terjadi di Uni Soviet dan turut menjadi inspirasi. Beda pandangan ini akhirnya membuat SI terpecah menjadi SI merah, cikal bakal Partai Komunis Indonesia.


Seperti sedang belajar sejarah? Begitulah. Menontonnya ibarat melihat peta kecil masa lampau yang ada di masa kini. Semua yang ada di masa tersebut  – radikalisme, nasionalisme – ada di masa kini. Anda akan dihadapkan pada sosok hidup tokoh-tokoh – termasuk tokoh Belanda – yang mungkin namanya sudah pernah didengar tapi tak pernah benar-benar tahu perannya. Memahami berbagai peran tersebut seperti pengingat agar kita tak seperti layang-layang putus.

Tapi, tenang saja, tak perlu mengerenyitkan dahi saat menonton film berdurasi 160 menit ini. Meski bermuatan sejarah, film ini adalah sejarah dalam teropong non-formal. Yang ditampilkan tidak saja sepak terjang perjuangan anak bangsa. Sisi lain yang tak ditemui di buku sejarah cukup asik disimak. Ada Stella (Chelsea Islan), anak perkawinan campur yang ditolak dibaptis oleh pastur Belanda dan diejek sebagai anak nyai pelacur, yang memohon Tjokro memperjuangkan kejelasan statusnya. Ada Abdullah (Alex Abbad), seorang Yaman yang hijrah hingga ke Indonesia lalu bekerja untuk Belanda dan (turut) menindas Indonesia. Bahkan komedi Istambul, pertunjukan seni dengan para pemain gabungan orang Belanda dan Indonesia. Gambaran perkebunan karet, kereta api uap, pelabuhan sebagai bentuk turisme turut ditampilkan. Juga celetukan-celetukan ringan pencair suasana.

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto besutan Garin Nugroho juga menampilkan akting apik Christine Hakim yang berperan sebagai abdi keluarga Tjokro – saking apiknya, dalam temu pers, Garin mengatakan memotong 30 persen bagiannya agar tercipta orkestra akting yang mumpuni dari seluruh pemain baik utama, pendukung, hingga figuran.

Tak butuh alasan lagi, selamat menonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar